Kamis, 19 November 2020

, , , , ,

Pendapat Tentang Sikap Indonesia terhadap Pencucian Uang Koruptor ke Singapura atau Defence Cooperation Agreement





        Sejak era reformasi pada tahun 1998, Masalah korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi tugas serius bagi pemerintah Indonesia untuk mengurangi angka pelanggaran dan penggelapan uang. Fenomena yang terjadi adalah terjadinya pencucian uang yang dilakukan oleh para koruptor Indonesia dengan menginvestasikan hasil korupsi tersebut di negara lain. Hingga saat ini, Singapura menjadi salah satu negara terdekat yang menjadi incaran para koruptor Indonesia untuk melakukan pencucian uang, seperti yang dilakukan Gayus Tambunan dengan menginvestasikan hasil korupsi yang dilakukannya di Singapura.

Fenomena pencucian uang terhadap negara Singapura dari Indonesia tidak bisa begitu saja ditindak oleh otoritas Indonesia. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pelarian uang ke luar negeri adalah dengan mengekstradisi negara yang bersangkutan. Awalnya, Indonesia telah melakukan beberapa kali pertemuan untuk melaksanakan perjanjian ekstradisi dari tahun 2002 hingga 2007. Namun demikian, Pemerintah Indonesia menyetujui permintaan Singapura untuk meminta tempat latihan militer di Indonesia berdasarkan perjanjian keamanan. Defence Cooperation Agreement (DCA).[1]

Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dengan Singapura ditandatangani dan berlaku surut selama  berpuluh tahun. Ini berarti bahwa pelaku kejahatan perbankan dan keuangan termasuk koruptor yang telah Berganti kewarganegaraan Tetap bisa diekstradisi. Kedua negara sepakat bahwa status  kewarganegaraan  untuk kepentingan ekstradisi dilandaskan pada saat tindak pidana terjadi. Pada sisi lain bahwa kerjasama pertahanan  Republik Indonesia dengan Singapura hanya menguntungkan pihak Singapura belaka. Dalam  substansinya,  Indonesia  akan  lebih   banyak  kehilangan  kesempatan sedangkan Singapura mendapa banyak kesempatan   dan kemudahan dari Indonesia.

Sebagai konsekuensi kerja sama ini, Indonesia akan memberikan izin kepada Singapura untuk menggunakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) guna latihan militer tentara Singapura, dikarenakan Singapura merupakan negara yang tidakmemiliki wilayah yang cukup luas untuk dijadikan sebagai tempat latihan militer. Apabila dikaitkan dengan bargaining power diplomasi Indonesia dalam menjalin hubungan bilateral dengan Singapura, posisi Indonesia di mata dunia International yang lemah serta berbagai permasalahan dalam negeri pasca krisis moneter pada akhir dasawarsa 90-an yang muncul, dengan sendirinya menjadikan

Singapura memiliki bargaining position yang kuat. Suatu negara dikatakan kuat menurut J. Hans Morgenthau (1985) apabila memiliki unsur-unsur kekuatan negara antara lain luas wilayah, keadaan geografis meliputi letak yang strategis, sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, sumber daya alam yang melimpah seperti pangan dan mineral, kekuatan ekonomi yang stabil, kualitas diplomasi yang mumpuni, good governance, kekuatan militer yang canggih serta sumber daya manusia yang berkualitas.[2]



[1] http//www.journaldefence.com.Indonesia-Singapore about ekstradition and defence agreement.  Vol 2 nomor

21 Tahun 2009

[2] Hans J. Morgenthau, Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace. Sixth edition. (New York: Alfred A. Knopf. Inc, 1985) hal.159

0 comments:

Posting Komentar