Sabtu, 06 November 2021

Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pendidikan Pancasila

  Monumen Pancasila - Bebas Royalti Pancasila Foto Stok

1. Dinamika Pendidikan Pancasila

Sebagaimana diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya
pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara
konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila. Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang
sebagaimana diketahui sebelumnya, beliau menjadi Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).

Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikan
Pancasila adalah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Buku tersebut diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku yang berjudul Penetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961, dengan penerbit CV Dua-R, yang dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku tersebut nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara. 

Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia
Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
 

Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang  digolongkan dalam mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti,  menerbitkan SK, Nomor 25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan   Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti telah  mengeluarkan  SK  tertanggal  5  Desember  1983,  Nomor  86/DIKTI/Kep/1983,   tentang  Pelaksanaan  Penataran  Pedoman  Penghayatan  dan  Pengamalan   Pancasila Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi. Kemudian, dilengkapi dengan  SK  Kepala  BP-7  Pusat  tanggal  2  Januari  1984,  Nomor  KEP/01/BP-7/I/1984,  tentang Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru  Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul kemudian  diterbitkan  SK  tanggal  13  April  1984,  No.  KEP-24/BP-7/IV/1984,  tentang  Pedoman Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh   Fakultas/Akademi dalam Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola  Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri  dan Swasta. 

Dampak dari beberapa kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Penataran  P-4 tersebut, terdapat beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi swasta  yang  tidak  mampu  menyelenggarakan  penataran  P-4  Pola  100  jam   sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan  atau tanpa penataran P-4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa  perguruan  tinggi  negeri  maupun  swasta yang  menyelenggarakan  penataran   P-4  pola  100  jam  bersamaan  dengan  itu  juga  melaksanakan  mata  kuliah   pendidikan Pancasila. 

Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur Jenderal  Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan Daftar  Perkuliahan,  yang  menjadi  landasan  yuridis  bagi  keberadaan  mata  kuliah   Pancasila  di  perguruan  tinggi.  Keberadaan  mata  kuliah  Pancasila  semakin  kokoh dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2  Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39   ditentukan  bahwa  kurikulum  pendidikan  tinggi  harus  memuat  mata  kuliah   pendidikan Pancasila. Kemudian, terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan  yuridis tersebut, yaitu khususnya pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah  Republik  Indonesia  Nomor  60  Tahun  1999,  tentang  Pendidikan  Tinggi,  jo.   Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya  menentukan  bahwa  mata  kuliah  pendidikan  Pancasila  adalah  mata  kuliah   yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik program diploma maupun   program sarjana. Pada 2000, Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan yang  memperkokoh  keberadaan  dan  menyempurnakan  penyelenggaraan  mata   kuliah pendidikan Pancasila, yaitu: 

1) SK Dirjen Dikti, Nomor 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi,
2) SK Dirjen Dikti, Nomor 265/Dikti/2000, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dan
3) SK Dirjen Dikti, Nomor 38/Dikti/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.  

Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan.

Ditetapkannya  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  20  tahun  2003,  kembali  mengurangi  langkah  pembudayaan  Pancasila  melalui  pendidikan. Dalam  Undang-Undang  tersebut  pendidikan  Pancasila  tidak  disebut  sebagai   mata kuliah wajib di perguruan tinggi sehingga beberapa universitas  menggabungkannya dalam materi pendidikan kewarganegaraan. Hasil survei  Direktorat  Pendidikan  Tinggi  2004 yang  dilaksanakan  di  81  perguruan  tinggi    negeri menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, yaitu Pancasila tidak  lagi   tercantum dalam kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Kenyataan tersebut  sangat mengkhawatirkan karena perguruan tinggi merupakan wahana  pembinaan  calon-calon  pemimpin  bangsa  dikemudian  hari.  Namun,  masih   terdapat beberapa perguruan tinggi negeri yang tetap mempertahankan mata  kuliah  pendidikan  Pancasila,  salah  satunya  adalah  Universitas  Gajah  Mada   (UGM). 

Dalam  rangka  mengintensifkan  kembali  pembudayaan  nilai-nilai  Pancasila  kepada  generasi  penerus  bangsa  melalui  pendidikan  tinggi,  pecinta  negara   proklamasi,  baik  elemen  masyarakat,  pendidikan  tinggi,  maupun  instansi   pemerintah, melakukan berbagai langkah, antara lain menggalakkan  seminar-seminar yang membahas tentang pentingnya membudayakan  Pancasila  melalui  pendidikan,  khususnya  dalam  hal  ini  melalui  pendidikan   tinggi. Di beberapa kementerian, khususnya di Kementerian Pendidikan  Nasional diadakan seminar-seminar dan salah satu output-nya adalah  terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor  914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011, perihal penyelenggaraan  pendidikan  Pancasila  sebagai  mata  kuliah  di  perguruan  tinggi.  Dalam  surat   edaran  tersebut,  Dirjen  Dikti  merekomendasikan  agar  pendidikan  Pancasila  dilaksanakan  di  perguruan  tinggi  minimal  2  (dua)  SKS  secara  terpisah,  atau   dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan   dengan  nama  Pendidikan  Pancasila  dan  Kewarganegaraan  (PPKn)  dengan   bobot minimal 3 (tiga) SKS.

Penguatan keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan  dalam  Pasal  35  jo.  Pasal  2  Undang-Undang  Republik  Indonesia  Nomor  12   tahun  2012,  tentang  Pendidikan  Tinggi, yang menetapkan  ketentuan  bahwa  mata  kuliah  pendidikan  Pancasila  wajib  dimuat  dalam  kurikulum  perguruan   tinggi, yaitu sebagai berikut:  

1. Pasal  2,  menyebutkan  bahwa  pendidikan  tinggi  berdasarkan  Pancasila,    Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  tahun  1945,  Negara  Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

2. Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat mata kuliah: agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa
Indonesia.
 

Dengan demikian, pembuat undang-undang menghendaki agar mata kuliah pendidikan Pancasila berdiri sendiri sebagai mata kuliah wajib di perguruan
tinggi.

2. Tantangan Pendidikan Pancasila  

Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar,  dorongan  pokok  dan  bintang  penunjuk  jalan.  Tanpa  adanya  leitmotive  dan  leitstar  Pancasila ini, kekuasaan negara akan menyeleweng. Oleh karena itu,  segala bentuk penyelewengan itu harus dicegah dengan cara mendahulukan  Pancasila  dasar  filsafat  dan  dasar  moral  (1979:14).  Agar  Pancasila  menjadi  dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi generasi penerus pemegang  estafet  kepemimpinan  nasional,  maka  nilai-nilai  Pancasila  harus  dididikkan  kepada para mahasiswa melalui mata kuliah pendidikan Pancasila.   

Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah  pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan di berbagai program studi  dengan menarik dan efektif. Tantangan ini dapat berasal dari internal  perguruan tinggi, misalnya faktor ketersediaan sumber daya, dan  spesialisasi  program  studi  yang  makin  tajam  (yang  menyebabkan  kekurangtertarikan   sebagian mahasiswa terhadap pendidikan Pancasila). Adapun tantangan yang  bersifat eksternal, antara lain adalah krisis keteladanan dari para elite politik  dan maraknya gaya hidup hedonistik di dalam masyarakat.

0 comments:

Posting Komentar