1. Dinamika Pendidikan Pancasila
Sebagaimana diketahui, pendidikan Pancasila mengalami pasang surut dalam pengimplementasiannya. Apabila ditelusuri secara historis, upaya
pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah secara
konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan sekarang. Namun, bentuk dan intensitasnya berbeda dari zaman ke zaman. Pada masa awal kemerdekaan, pembudayaan nilai-nilai tersebut dilakukan dalam bentuk pidato-pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat akbar yang disiarkan melalui radio dan surat kabar. Kemudian, pada 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Pancasila. Buku tersebut disertai kata pengantar dari Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat yang sebagaimana diketahui sebelumnya, beliau menjadi Kaitjoo (Ketua) Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).
Perubahan yang signifikan dalam metode pembudayaan/pendidikan
Pancasila adalah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada 1960, diterbitkan buku oleh Departemen P dan K, dengan judul Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civics). Buku tersebut diterbitkan dengan maksud membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik melalui pendidikan. Selain itu, terbit pula buku yang berjudul Penetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, pada tahun 1961, dengan penerbit CV Dua-R, yang dibubuhi kata pengantar dari Presiden Republik Indonesia. Buku tersebut nampaknya lebih ditujukan untuk masyarakat umum dan aparatur negara.
Tidak lama sejak lahirnya Ketetapan MPR RI, Nomor II/MPR/1978, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Ekaprasetia
Pancakarsa, P-4 tersebut kemudian menjadi salah satu sumber pokok materi Pendidikan Pancasila. Selanjutnya diperkuat dengan Tap MPR RI Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN yang mencantumkan bahwa “Pendidikan Pancasila” termasuk Pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Dalam rangka menyempurnakan perkuliahan pendidikan Pancasila yang digolongkan dalam mata kuliah dasar umum di perguruan tinggi, Dirjen Dikti, menerbitkan SK, Nomor 25/DIKTI/KEP/1985, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sebelumnya, Dirjen Dikti telah mengeluarkan SK tertanggal 5 Desember 1983, Nomor 86/DIKTI/Kep/1983, tentang Pelaksanaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila Pola Seratus Jam di Perguruan Tinggi. Kemudian, dilengkapi dengan SK Kepala BP-7 Pusat tanggal 2 Januari 1984, Nomor KEP/01/BP-7/I/1984, tentang Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta, menyusul kemudian diterbitkan SK tanggal 13 April 1984, No. KEP-24/BP-7/IV/1984, tentang Pedoman Penyusunan Materi Khusus sesuai Bidang Ilmu yang Diasuh Fakultas/Akademi dalam Rangka Penyelenggaraan Penataran P-4 Pola Pendukung 100 Jam bagi Mahasiswa Baru Universitas/Institut/Akademi Negeri dan Swasta.
Dampak dari beberapa kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan Penataran P-4 tersebut, terdapat beberapa perguruan tinggi terutama perguruan tinggi swasta yang tidak mampu menyelenggarakan penataran P-4 Pola 100 jam sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan Pancasila dengan atau tanpa penataran P-4 pola 45 jam. Di lain pihak, terdapat pula beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menyelenggarakan penataran P-4 pola 100 jam bersamaan dengan itu juga melaksanakan mata kuliah pendidikan Pancasila.
Dalam era kepemimpinan Presiden Soeharto, terbit Instruksi Direktur Jenderal Perguruan Tinggi, nomor 1 Tahun 1967, tentang Pedoman Penyusunan Daftar Perkuliahan, yang menjadi landasan yuridis bagi keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi. Keberadaan mata kuliah Pancasila semakin kokoh dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 39 ditentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi harus memuat mata kuliah pendidikan Pancasila. Kemudian, terbit peraturan pelaksanaan dari ketentuan yuridis tersebut, yaitu khususnya pada pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, tentang Pendidikan Tinggi, jo. Pasal 1 SK Dirjen Dikti Nomor 467/DIKTI/Kep/1999, yang substansinya menentukan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila adalah mata kuliah yang wajib ditempuh oleh seluruh mahasiswa baik program diploma maupun program sarjana. Pada 2000, Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan yang memperkokoh keberadaan dan menyempurnakan penyelenggaraan mata kuliah pendidikan Pancasila, yaitu:
1) SK Dirjen Dikti, Nomor 232/U/2000, tentang Pedoman Penyusunan
Kurikulum Pendidikan Tinggi,
2) SK Dirjen Dikti, Nomor 265/Dikti/2000, tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK), dan
3) SK Dirjen Dikti, Nomor 38/Dikti/Kep/2002, tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Seiring dengan terjadinya peristiwa reformasi pada 1998, lahirlah Ketetapan MPR, Nomor XVIII/ MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa), sejak itu Penataran P-4 tidak lagi dilaksanakan.
Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan. Dalam Undang-Undang tersebut pendidikan Pancasila tidak disebut sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi sehingga beberapa universitas menggabungkannya dalam materi pendidikan kewarganegaraan. Hasil survei Direktorat Pendidikan Tinggi 2004 yang dilaksanakan di 81 perguruan tinggi negeri menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, yaitu Pancasila tidak lagi tercantum dalam kurikulum mayoritas perguruan tinggi. Kenyataan tersebut sangat mengkhawatirkan karena perguruan tinggi merupakan wahana pembinaan calon-calon pemimpin bangsa dikemudian hari. Namun, masih terdapat beberapa perguruan tinggi negeri yang tetap mempertahankan mata kuliah pendidikan Pancasila, salah satunya adalah Universitas Gajah Mada (UGM).
Dalam rangka mengintensifkan kembali pembudayaan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus bangsa melalui pendidikan tinggi, pecinta negara proklamasi, baik elemen masyarakat, pendidikan tinggi, maupun instansi pemerintah, melakukan berbagai langkah, antara lain menggalakkan seminar-seminar yang membahas tentang pentingnya membudayakan Pancasila melalui pendidikan, khususnya dalam hal ini melalui pendidikan tinggi. Di beberapa kementerian, khususnya di Kementerian Pendidikan Nasional diadakan seminar-seminar dan salah satu output-nya adalah terbitnya Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Nomor 914/E/T/2011, pada tanggal 30 Juni 2011, perihal penyelenggaraan pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. Dalam surat edaran tersebut, Dirjen Dikti merekomendasikan agar pendidikan Pancasila dilaksanakan di perguruan tinggi minimal 2 (dua) SKS secara terpisah, atau dilaksanakan bersama dalam mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan nama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dengan bobot minimal 3 (tiga) SKS.
Penguatan keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalam Pasal 35 jo. Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, yang menetapkan ketentuan bahwa mata kuliah pendidikan Pancasila wajib dimuat dalam kurikulum perguruan tinggi, yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
2. Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat mata kuliah: agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa
Indonesia.
Dengan demikian, pembuat undang-undang menghendaki agar mata kuliah pendidikan Pancasila berdiri sendiri sebagai mata kuliah wajib di perguruan
tinggi.
2. Tantangan Pendidikan Pancasila
Abdulgani menyatakan bahwa Pancasila adalah leitmotive dan leitstar, dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar Pancasila ini, kekuasaan negara akan menyeleweng. Oleh karena itu, segala bentuk penyelewengan itu harus dicegah dengan cara mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar moral (1979:14). Agar Pancasila menjadi dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi generasi penerus pemegang estafet kepemimpinan nasional, maka nilai-nilai Pancasila harus dididikkan kepada para mahasiswa melalui mata kuliah pendidikan Pancasila.
Tantangannya ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan di berbagai program studi dengan menarik dan efektif. Tantangan ini dapat berasal dari internal perguruan tinggi, misalnya faktor ketersediaan sumber daya, dan spesialisasi program studi yang makin tajam (yang menyebabkan kekurangtertarikan sebagian mahasiswa terhadap pendidikan Pancasila). Adapun tantangan yang bersifat eksternal, antara lain adalah krisis keteladanan dari para elite politik dan maraknya gaya hidup hedonistik di dalam masyarakat.
0 comments:
Posting Komentar