Rabu, 10 Desember 2025

Ancaman Hukuman Berat dalam UU HAM: Dilema Implementasi

 Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sering kali menghadapi tantangan berat, meskipun secara normatif, Indonesia memiliki perangkat hukum yang kuat dan memadai, termasuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Faktanya, hambatan penegakan HAM di Indonesia sebenarnya bukan karena kurangnya peraturan hukum tentang HAM.

Peraturan hukum yang ada telah memuat ancaman hukuman yang berat, bahkan hukuman mati, bagi pelaku pelanggaran HAM berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, ancaman hukuman berat dalam peraturan hukum tentang HAM Indonesia tidak dapat dilaksanakan secara efektif.

Penyebab Kegagalan Implementasi Hukuman Berat

Mengapa ancaman hukuman tersebut sulit terwujud? Masalahnya bukan terletak pada ketiadaan hukum, melainkan pada eksekusi dan faktor-faktor struktural di lapangan. Ancaman hukuman berat tidak dapat dilaksanakan akibat dari serangkaian kompleksitas, terutama:

1. Tembok Impunitas dan Solidaritas Korps

Ini adalah hambatan struktural terbesar. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat sering melibatkan aktor dari institusi negara (militer, kepolisian, atau pejabat). Upaya penegakan hukum sering terhalang oleh solidaritas korps yang kuat, membuat penyelidikan menjadi sulit, dan bahkan berujung pada impunitas (pelaku bebas dari hukuman).

2. Kesulitan Pembuktian Kasus Masa Lalu

Pelanggaran HAM berat seringkali terjadi di masa lalu. Proses pembuktian di pengadilan menjadi sangat rumit akibathilangnya barang bukti, sulitnya menghadirkan saksi (karena intimidasi, ketakutan, atau meninggal dunia), serta tekanan untuk memenuhi standar pembuktian yang sangat tinggi sebagaimana diatur oleh UU Pengadilan HAM.

3. Intervensi Politik dan Rendahnya Independensi

Kasus HAM, khususnya yang berkaitan dengan konflik atau kebijakan di masa lalu, selalu bersentuhan dengan kepentingan politik elit. Hal ini dapat mengakibatkan proses hukum menjadi lambat, terdistorsi, atau bahkan dihentikan oleh intervensi dari kekuatan politik atau eksekutif. Independensi lembaga peradilan sering diuji dalam kasus-kasus sensitif seperti ini.

4. Kultur Kekerasan yang Masih Eksis

Di beberapa institusi, masih ada residu kultur kekerasan yang secara tidak langsung memberikan toleransi terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dalam menjalankan tugas. Kultur ini menjadi salah satu penghambat utama yang tidak dapat dilaksanakan secara tegas melalui ancaman hukuman saja jika tidak disertai reformasi kelembagaan yang mendalam.

0 comments:

Posting Komentar