Sabtu, 30 November 2019

, , ,

LEGALITAS INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK

Setelah Perang Dingin berakhir, tatanan geopolitik dunia berubah menjadi sistem politik internasional unipolar. Dimana hanya ada satu kekuatan tunggal dalam pentas kekuasaan dunia. Dan Amerika Serikat (AS) keluar sebagai pemenang dan muncul sebagai satu-satunya negara super  power.  Untuk membuktikan eksistensinya sebagai negara adidaya, AS selalu melibatkan diri dalam percaturan politik internasional. Walaupun untuk menjalankan strateginya itu AS harus memakan banyak korban yang tidak bersalah.
Pada masa Pemerintahan George Walker Bush bahaya tidak datang dari komunisme atau negara-negara “great power” lainnya. Tetapi bahaya justru datang dari terorisme global yang mencuat pasca terjadinya tragedi 11 september 2001. Sejak saat itu, AS memberikan label terorisme kepada organisasi-organisasi dan orang-orang islam. Peristiwa ini tidak hanya memunculkan perubahan paradigma tentang keamanan dan ancaman nasional khususnya bagi AS, tetapi juga memaksa kelompok neokonservatif atau yang dikenal sebagai hawkish untuk menekan Bush agar merealisasikan doktrin “pre-emptive strike”. Ini adalah sebuah doktrin yang membenarkan tindakan AS untuk menghancurkan pihak manapun yang dianggap “mengancam” keamanan nasionalnya. Lebih jauh, insiden ini juga memberi peluang kepada AS untuk melancarkan perang terhadap beberapa negara dengan kedok terorisme internasional yang menurutnya menjadi ancaman global.
Percobaan pertama dari strategi pre-emptive strike adalah Taliban di Afghanistan dan kemudian Irak, yang mana AS menganggapnya sebagai tantangan berbahaya bagi keamanan dunia. Oleh karena itu, tepat pada 19 Maret 2003 AS dan Inggris secara sepihak menyatakan perang terhadap Irak. Perang ini sangat kental akan nuansa ideologis dan jauh dari perang yang benar. AS menggunakan isu terorisme dan senjata pemusnah massal untuk mendukung dan melegitimasi aksinya. Dengan begitu, AS mempunyai alasan yang tepat untuk melakukan intervensi seperti apa yang telah dilakukan sebelumnya terhadap Afghanistan. Namun, argumen yang dikemukakan AS terhadap dunia internasional tersebut sangatlah lemah, sehingga intevensi yang dilakukannya mendapat protes keras dari dunia internasional maupun regional.
Invasi AS ini berdampak pada perkembangan politik dan memengaruhi stabilitas politik di Irak. Hal ini disebabkan karena invasi AS terhadap Irak telah melanggar tatanan-tatanan politik modern, seperti piagam PBB, kedaulatan, otoritas, legitimasi politik dan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan prasyarat terwujudnya stabilitas politik.


Profil Singkat Negara Irak
Irak merupakan suatu negara yang terletak di Asia Barat Daya, antara 29º - 37º Lintang Utara dan 39º - 48º Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 438.052 km². Teritori Irak terletak di kawasan yang subur  yaitu  diantara sungai  Eufrat  dan  Tigris (Mesopotamia), sehingga tak heran jika Irak mempunyai suplai air yang banyak. Selain itu Irak juga berpotensi menjadi negara terkaya di dunia, karena cadangan minyak bumi dan gas alamnya yang sangat melimpah.[1]
Berdasarkan perkiraan bulan Juli 2002, jumlah penduduk Irak adalah 24.001.816 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 75-80 persen adalah kelompok etnis Arab; Kurdi berjumlah 15-20 persen; Turkoman, Assirian, dan lain-lain sekitar 5 persen. Apabila ditilik dari mazhab yang dianut, kelompok etnis Arab terbagi dua: sebanyak 60-65 persen menganut mazhab Syiah dan 32-37 persen menganut mazhab Sunni. Sementara itu yang menganut agama Kristen dan lainnya sebanyak 3 persen.[2]
Namun penyebaran penduduk di Irak kurang merata, sehingga penduduk tertentu hanya terkonsentrasi secara geografis di wilayah tertentu saja. Penduduk yang mayoritas beragama Islam Syiah terkonsentrasi di Irak Selatan, suku Kurdi terkonsentrasi di Irak Utara sedangkan Arab Sunni sebagian besar tinggal di Irak Tengah. Akibatnya Irak selalu menghadapi problem integrasi nasional.[3]

Kondisi Hubungan Amerika Serikat dan Irak Sebelum Perang Teluk III Tahun 2003
Pasca berakhirnya perang dingin, AS sebagai negara super power mencoba untuk mengincar Timur Tengah. Intervensi AS di Timur Tengah diawali dengan keterlibatannya dalam Perang Teluk II yang sebelumnya merupakan perang antara Irak dan Kuwait.
Dalam perkembangannya, invasi  dan  aneksasi  Irak  atas  Kuwait  berkembang  menjadi konflik terbuka antara Irak dan AS. Hal ini dikarenakan Perang Teluk II secara tidak langsung telah mengancam kepentingan AS mengingat  ladang  minyak  di  Kuwait  yang  setiap  hari mengalirkan  dolar  ke  negaranya telah  diserobot Irak. Oleh karena itu, AS merancang resolusi dan dengan segala kekuatan berupaya meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengesahkannya agar mengusir dan melumpuhkan militer Irak. Ini semua mereka lakukan dengan alasan bahwa Irak telah melangar hukum internasional. Alhasil, Dewan Keamanan PBB pun mengesahkan 12 resolusi yang  mengecam Irak dan semakin memperkuat bukti bahwa PBB telah menjadi alat hegemoni AS.[4]
Ini semua sangat bertolak belakang ketika Irak terlibat dalam Perang Teluk I, dimana saat itu Irak mendapat dukungan penuh dari AS dan sekutunya, baik itu bantuan ekonomi maupun peralatan militer. Meskipun diketahui bahwa itu semua hanyalah dukungan yang semu karena pada dasarnya AS hanya merasa khawatir terhadap ancaman Revolusi Islam yang dibawa oleh rezim Khomeini.
Awalnya tujuan AS memerangi Irak (Perang Teluk II) hanya untuk membebaskan Kuwait. Namun, jika melihat skala penghancuran Irak, sangat meragukan apa sebenarnya motif dari AS. Disinilah terlihat jelas bahwa tujuan utama AS adalah minyak dan Israel. Faktor minyak memang sangat penting bagi AS, karena mereka memiliki kebutuhan konsumsi minyak yang sangat besar. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk menguasai negara-negara yang kaya minyak termasuk Irak. Sedangkan faktor Israel berkaitan erat dengan kuatnya lobi Yahudi dalam politik domestik AS. Oleh sebab itu, apapun yang diperbuat Israel tidak akan ditentang AS. Bahkan AS akan menentang setiap usaha menghukum pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap norma-norma hubungan internasional.

Latar Belakang Perang Teluk III
Rencana AS untuk menyingkirkan Saddam Hussein yang dianggap sebagai ancaman telah muncul jauh sebelum Perang Teluk III terjadi. Gagasan untuk menyingkirkan Saddam paling tidak sudah mulai mengemuka tahun 1992 dan kemudian dipertegas pada tahun 1997 dengan dibentuknya Project for the New American Century (PNAC) oleh kelompok neokonservatif atau hawkish.[5] Hawkish adalah sebuah istilah tidak resmi yang digunakan untuk menggambarkan para pemimpin politik yang memiliki kecenderungan militeristik atau pro-perang. Para politik hawkish seringkali menganjurkan posisi kebijakan luar negeri agresif dan tidak canggung menggunakan konflik militer untuk menyelesaikan perselisihan. Dan merekalah yang sejak awal selalu memprovokasi pemerintah AS untuk menyerang Irak dan menyingkirkan Saddam Hussein.[6]
Tragedi  11  September  2001  merupakan  titik  awal  kebijakan  baru,  baik kebijakan  luar  negeri  maupun  pertahanan  AS. Inilah yang kemudian menjadi alasan AS untuk meyerang Irak setelah sebelumnya menyerang Afganistan. Pemerintah Bush memvonis bahwa Irak terlibat dalam serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 itu. Bahkan Donald Rumsfeld menyatakan bahwa Pentagon dan CIA mempunyai bukti yang mengaitkan Irak dengan Al Qaeda. Namun Rumsfeld menolak untuk membeberkan bukti yang menjadi dasar pernyataannya itu. Belakangan baru terungkap bahwa bukti-bukti itu tidak ada.[7]
Selain keterlibatan dengan teroris, Presiden Bush melalui pidato tahunannya yang dikenal dengan pidato ”state of the union” pada 29 Januari 2002 mengeluarkan isu bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Itu semua dilakukan Bush untuk menggiring rakyatnya dan masyarakat dunia agar mau mendukung niatnya untuk menyerang Irak.[8]
Pada 17 September 2002, Presiden Bush mengeluarkan Strategi Keamanan Nasional (National Security Strategy / NSS) pemerintahannya. Konsep ini disebut NSS-2002 yang merupakan doktrin kebijakan keamanan terbaru AS dan sering pula disebut sebagai Doktrin Bush. Dapat dikatakan bahwa doktrin baru yang menjadi kebijakan resmi AS ini seakan-akan menyatakan bahwa pemerintah Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan melanggar hukum internasional.[9]
Doktrin  keamanan  terbaru  AS  yang  dijelaskan  dalam  NSS-2002 menggarisbawahi  perubahan  kebijakan  keamanan  AS  secara menyeluruh.  Akibat perubahan  itu  AS telah  menerapkan kebijakan strategis global yang lebih radikal. Ada tiga hal penting untuk digarisbawahi dari“Bush Doctrine” ini yaitu sebagai berikut:
a.       Ambisi global Amerika Serikat untuk menjadi pemimpin dunia yang aktif dan
didengar serta dipatuhi segala kehendaknya.
b.      Amerika Serikat akan melakukan perubahan rezim di negara-negara yang
dianggapnya tidak sehaluan atau bahkan membahayakan kepentingannya.
c.       Amerika Serikat memaksa untuk mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi
liberal yang dianutnya ke seluruh penjuru dunia, kendati tidak ada satu pasal
pun dalam Piagam PBB yang memberikan “hak” kepada Amerika Serikat
untuk melakukan hal itu.

Dan akhirnya pada 19 Maret 2003, sebanyak 250.000 tentara Amerika Serikat didukung hampir 45.000 tentara Inggris, 2.000 tentara Australia dan 200 tentara Polandia, menggempur dan memasuki Irak melalui Kuwait. Penyerangan AS dan Inggris terhadap Irak ini sama sekali tidak berdasar. Karena dari serangkaian investigasi yang telah dilakukan oleh para agen rahasia AS menyimpulkan bahwa Irak tidak terlibat dalam serangan 11 September 2001. Kesimpulan ini kemudian dipertegas oleh laporan John Scarlet, Ketua Komite Intelijen Bersama Inggris yang menyatakan bahwa tidak ada bukti keterkaitan antara Baghdad dengan serangan 11 September 2001 atau jaringan Al Qaeda. Bahkan pada tahun 2004, komisi nasional tentang serangan teroris yang dikenal dengan komisi 9/11 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa Saddam memberikan bantuan pada Al Qaeda dalam menyiapkan serangan 11 September 2001 terhadap Gedung World Trade Centre dan Pentagon. Tuduhan terhadap Irak yang diduga terlibat Al Qaeda dilakukan tanpa keadilan, kecuali demi ambisi politik  global Amerika Serikat yang justru mengancam keseimbangan politik dan keamanan seluruh dunia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan para pengambil kebijakan didalam pemerintahan Presiden Bush memutuskan untuk menyerbu Irak. Di antara faktor faktor yang menjadi landasan utama tersebut adalah sebagai berikut:[10]
1.      Ambisi minyak dan menghancurkan OPEC
2.      Meneguhkan pengaruh politik AS di Timur Tengah
3.      Menjadikan Israel sebagai penguasa tunggal di kawasan Timur Tengah
4.      Kepentingan kekuasaan
5.      Menyebarkan ideologi, yakni demokrasi dan liberalisme ekonomi[11]

Kronologi Perang AS-Irak
Melalui pidatonya pada 18 maret 2003, Bush mengultimatum Saddam Hussein dan putra-putranya untuk meninggalkan Irak dalam waktu 48 jam atau menghadapi perang. Namun, Saddam Hussain memilih untuk tidak menghiraukannya dan menyatakan siap untuk berperang. Oleh karena itu, pada 19 maret 2003 AS dan Inggris menyatakan perang telah dimulai.[12] Peperangan diantara keduanya berjalan sengit, mulai dari serangan darat, udara, hingga laut. Sementara dari udara, pesawat tempur AS dan Inggris terus mengebom berbagai sasaran penting di Ibukota Baghdad. Sasaran utamanya adalah istana Presiden Saddam Hussein, markas besar partai Baath dan instalasi militer yang masih tersisa.
Di  samping  melakukan  serangan  militer,  AS  juga  merusak sistem telekomunikasi untuk  memutus rantai komando antara para petinggi Irak dan  tingkatan-tingkatan  dibawahnya.  Namun lain halnya dengan listrik, karena baik AS maupun Irak sangat memerlukan radio ataupun televisi untuk memengaruhi dan menggalang opini publik.[13] AS mengajak tentara dan rakyat Irak untuk meninggalkan Saddam dan  menyerahkan diri. Sedangkan Saddam berusaha agar tentara dan rakyat tetap setia padanya dan mau berjuang untuknya.
Setelah berperang dalam kurun waktu 43 hari, akhirnya pada  tanggal  1  Mei  2003,  Presiden  George  W.  Bush,  di  atas  kapal  USS Abraham  Lincoln  menyatakan  bahwa perang telah  selesai. Presiden Bush  menyatakan  bahwa  kemenangan  berada  di  pihak  pasukan  gabungan pimpinan AS. Sejak saat itu pula maka dimulailah fase stabilitas dan rekonstruksi Irak pasca perang. Oleh karenanya, AS kemudian menunjuk Jenderal Jay Garner untuk  mengendalikan  Irak  sampai  terbentuk  pemerintah  baru.  Garner  pun mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemimpin Irak dan mulai merencanakan pembentukan  pemerintahan  federal  Irak. Pertemuan itu pun akhirnya berhasil  mengeluarkan  13  keputusan  signifikan yang  menjadi  pondasi  bagi  sistem  negara  dan  pemerintah  Irak  pasca  Saddam Hussein.[14]
Jika dilihat dari segi kekuatan, peperangan antara AS dan Irak sangat tidak berimbang. Amerika Serikat datang dengan kekuatan penuh serta didukung oleh beberapa negara sekutunya.[15] Sedangkan Irak yang juga mengalami kekalahan pada Perang Teluk II tidak mampu berbuat banyak kala menghadapi pasukan AS. Ketidakberdayaan militer Irak dalam menghadapi kekuatan militer AS  pada  akhirnya  teruji.  Pasukan  Khusus  Garda  Republik dan sejumlah pasukan dari organisasi keamanan di Baghdad yang seluruhnya berjumlah 15.000 orang dengan  mudah disapu oleh 100 serangan helikopter, 325 tank M1 Abram dan  200  kendaraan  tempur  M-1  Bradley  dari  Divisi  Infanteri  Amerika  Serikat yang  masuk  ibukota  Baghdad.[16] Meskipun demikian, semangat rakyat Irak untuk mempertahankan negaranya sangatlah tinggi. Itu semua mereka lakukan untuk menentang pendudukan yang dilakukan AS dan sekutunya.

Dampak Perang Teluk III
Pernyataan kemenangan presiden Bush pada 1 maret 2003  secara  simbolis melambangkan runtuhnya rezim Saddam Hussein. Dampak  politik  setelah  tumbangnya  rezim ini  maka  secara  otomatis  Irak  menjadi  daerah  pendudukan  AS. Oleh karenanya, AS kemudian  membentuk  pemerintah  transisi  Irak  untuk menuju  pemerintah  yang  permanen  tanpa  campur  tangan  asing yang dijanjikan lebih demokratis.[17]
Sejak saat itu juga kebebasan pers sangat dinikmati media massa. Namun dampak negatif yang timbulkan ternyata jauh lebih besar. Berdasarkan laporan dari  media  yang  terbit  di  negara-negara  Arab  dan  internasional diberitakan bahwa setelah kejatuhan Saddam, tindak kriminal di Irak meningkat tajam. Penjarahan, perampokan, pembunuhan hingga pemerkosaan diberitakan terjadi dimana-mana. Penduduk  merasa semakin tidak aman dan tidak nyaman.[18] Walaupun mereka pernah  menganggap  AS  sebagai  ”pembebas”  ketika  berhasil menumbangkan  rezim  Saddam  Hussein, namun perasaan  terbebas  itu langsung berubah ketika  situasi  di  Irak tidak  menjadi  lebih  baik  secara ekonomi, sosial, politik dan keamanan.
Di  bidang  ekonomi  Irak  mengalami  kerugian  besar  karena  hancurnya infrastruktur akibat perang. Mulai dari gedung-gedung pemerintah,  rumah  sakit,  pemukiman  penduduk,  jalan-jalan,  pusat  perdagangan serta  tempat-tempat  umum  lainnya. Selain itu, perang ini juga menelan banyak korban, baik  sipil maupun  kalangan  militer.  Propaganda  AS menyerang  Irak  dengan tujuan  membebaskan  rakyat  Irak  sama  sekali  tidak  terbukti.  Justru  yang kebanyakan  menjadi korban tindakan  mereka adalah warga sipil Irak.
Bahkan pemerintahan Irak juga tidak mampu lepas dari kendali AS. Hal ini tampak jelas ketika Irak menyelenggarakan pemilu dan membentuk pemerintahan yang baru namun tentara pendudukan AS belum angkat kaki dari Irak. Sehingga menyebabkan terjadinya baku tembak antara tentara pendudukan AS dengan kelompok-kelompok bersenjata Irak.

Dari berbagai kondisi diatas sudah jelas bahwa invasi yang dilakukan AS dan Inggris terhadap Irak ini telah melanggar hukum internasional, karena jika merujuk pada Piagam PBB, hanya ada dua kondisi yang dapat membenarkan penggunaan kekerasan (perang), yakni dalam hal bela diri dan apabila terdapatnya otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Namun, AS dan Inggris tidaklah dalam kondisi diserang melainkan sebagai pihak yang menyerang, meskipun mereka menggunakan dalih pre-emptive strike untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan. Dengan begitu, syarat pertama telah gagal mereka penuhi. Selain itu, mereka juga telah bertindak terlebih dahulu tanpa menunggu hasil sidang DK PBB yang masih memperdebatkan rencana resolusi kedua, dengan demikian AS dan Inggris telah bertindak illegal karena tidak mendapat mandat dari DK PBB. Oleh karena itu, tindakan invasi yang mereka lakukan terhadap Irak dianggap melanggar hukum internasional.
Namun PBB tidak mampu untuk memberikan resolusi sanksi kepada AS dan Inggris, karena kedua negara tersebut memiliki hak veto yang dapat menepis keabsahan DK PBB. Oleh karena itu mustahil untuk memberikan sanksi kepada AS maupun Inggris. Selain kelemahan secara struktural, PBB juga terkesan inferior jika dibandingkan Amerika Serikat. Hal ini tak lepas dari masalah dominasi AS dalam menyumbang dana untuk PBB yakni sekitar 25% dari seluruh pendapatan PBB. Sehingga AS seakan-akan bertindak sebagai polisi sekaligus hakim internasional yang selalu benar dan tidak ada yang berani untuk menyalahkannya.

Daftar Pustaka

Sumber Buku
Kuncahyono, Trias. Dari Damaskus ke Baghdad. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Mahally, Abdul Halim. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Mudarris, Alauddin Al. Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Yogyakarta: Penerbit Hikmah, 2004.
Rahman, Mustafa Abdul. Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari lapangan). Jakarta: Penerbit Kompas, 2003.
Setiawati, Siti Muti'ah. Irak Dibawah Kekuasaan Amerika. Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia . Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004.
Shoelhi, Mohammad. Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Zaman, 2003.
Sumber Berita
Anonim. 2003. Agustus. “Kursi Panas Untuk Bush dan Blair”. Tempo
Mustafa Abdul Rahman. 2002. Februari 26. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
………………………..  2002. Agustus 18. “BabakBaruKonflikIrak-AS”.Kompas
SuryaningsihdanAgustRiewanto. 2003. Maret 23. “Lima Motif Invasi AS keIrak”.Kompas


[1] Alauddin Al Mudarris. Huru-Hara Irak Isyarat Akhir Zaman. Hal.13

[2]Trias Kuncahyono. Dari Damaskus ke Baghdad. Hal. 132
[3]Siti Muti’ah Setiawati. Irak Dibawah Kekuasaan Amerika. Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi (Rakyat) Indonesia. Hal. 117

[4]Mohammad Shoelhi. Demi Harga Diri Mereka Melawan Amerika Serikat. Hal. 102
[5]Trias Kuncahyono. Op. cit. hal 3

[6]Mustafa Abdul Rahman. 2002. Agustus 18. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
[7]Anonim. 2003. Agustus. “Kursi Panas Untuk Bush dan Blair”. Tempo
[8]Mustafa Abdul Rahman. 2002. Februari 26. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
[9]Abdul Halim Mahally. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Hal. 200
[10]Ibid. hal 341-355

[11]Siti Muti’ah Setiawati. Op cit. hal. 77-81
[12]SuryaningsihdanAgustRiewanto. 2003. Maret 23. “Lima Motif Invasi AS keIrak”.Kompas

[13]Ibid.

[14]Musthafa Abd. Rahman. Geliat Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari lapangan). Hal. 207
[15]Abdul Halim Mahally. Op. cit. hal. 314

[16]Ibid. hal. 321-322

[17]Siti Muti’ah Setiawati. Op cit. hal. 183

[18]Trias Kuncahyono. Op. cit. hal 196

0 comments:

Posting Komentar