Setelah Perang Dingin berakhir, tatanan
geopolitik dunia berubah menjadi sistem politik internasional unipolar. Dimana
hanya ada satu kekuatan tunggal dalam pentas kekuasaan dunia. Dan Amerika
Serikat (AS) keluar sebagai pemenang dan muncul sebagai satu-satunya negara
super power. Untuk membuktikan eksistensinya sebagai
negara adidaya, AS selalu melibatkan diri dalam percaturan politik
internasional. Walaupun untuk menjalankan strateginya itu AS harus memakan
banyak korban yang tidak bersalah.
Pada masa Pemerintahan George Walker
Bush bahaya tidak datang dari komunisme atau negara-negara “great power”
lainnya. Tetapi bahaya justru datang dari terorisme global yang mencuat pasca
terjadinya tragedi 11 september 2001. Sejak saat itu, AS memberikan
label terorisme kepada organisasi-organisasi dan orang-orang islam. Peristiwa
ini tidak hanya memunculkan perubahan paradigma tentang keamanan dan ancaman
nasional khususnya bagi AS, tetapi juga memaksa kelompok neokonservatif atau
yang dikenal sebagai hawkish untuk menekan Bush agar merealisasikan doktrin “pre-emptive strike”. Ini adalah sebuah
doktrin yang membenarkan tindakan AS untuk menghancurkan pihak manapun yang
dianggap “mengancam” keamanan nasionalnya. Lebih jauh, insiden ini juga memberi
peluang kepada AS untuk melancarkan perang terhadap beberapa negara dengan
kedok terorisme internasional yang menurutnya menjadi ancaman global.
Percobaan pertama dari strategi pre-emptive
strike adalah Taliban di Afghanistan dan kemudian Irak, yang mana AS
menganggapnya sebagai tantangan berbahaya bagi keamanan dunia. Oleh karena itu, tepat pada 19 Maret 2003 AS dan Inggris
secara sepihak menyatakan perang terhadap Irak. Perang ini sangat kental akan
nuansa ideologis dan jauh dari perang yang benar. AS menggunakan isu terorisme
dan senjata pemusnah massal untuk mendukung dan melegitimasi aksinya. Dengan
begitu, AS mempunyai alasan yang tepat untuk melakukan intervensi seperti apa
yang telah dilakukan sebelumnya terhadap Afghanistan. Namun, argumen yang
dikemukakan AS terhadap dunia internasional tersebut sangatlah lemah, sehingga
intevensi yang dilakukannya mendapat protes keras dari dunia internasional
maupun regional.
Invasi AS ini berdampak pada
perkembangan politik dan memengaruhi stabilitas politik di Irak. Hal ini
disebabkan karena invasi AS terhadap Irak telah melanggar tatanan-tatanan
politik modern, seperti piagam PBB, kedaulatan, otoritas, legitimasi politik
dan prinsip-prinsip demokrasi yang merupakan prasyarat terwujudnya stabilitas
politik.
Profil Singkat Negara
Irak
Irak merupakan suatu negara yang
terletak di Asia Barat Daya, antara 29º - 37º Lintang Utara dan 39º - 48º Bujur
Timur dengan luas wilayah sekitar 438.052 km². Teritori Irak terletak di kawasan yang subur yaitu
diantara sungai Eufrat dan
Tigris (Mesopotamia), sehingga tak heran jika Irak mempunyai suplai air
yang banyak. Selain itu Irak juga berpotensi menjadi negara terkaya di dunia,
karena cadangan minyak bumi dan gas alamnya yang sangat melimpah.[1]
Berdasarkan perkiraan bulan Juli 2002,
jumlah penduduk Irak adalah 24.001.816 jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak
75-80 persen adalah kelompok etnis Arab; Kurdi berjumlah 15-20 persen;
Turkoman, Assirian, dan lain-lain sekitar 5 persen. Apabila ditilik dari mazhab
yang dianut, kelompok etnis Arab terbagi dua: sebanyak 60-65 persen menganut
mazhab Syiah dan 32-37 persen menganut mazhab Sunni. Sementara itu yang
menganut agama Kristen dan lainnya sebanyak 3 persen.[2]
Namun
penyebaran penduduk di Irak kurang merata, sehingga
penduduk tertentu hanya terkonsentrasi secara geografis di wilayah tertentu
saja. Penduduk yang mayoritas beragama Islam Syiah terkonsentrasi di Irak
Selatan, suku Kurdi terkonsentrasi di Irak Utara sedangkan Arab Sunni sebagian
besar tinggal di Irak Tengah. Akibatnya Irak selalu menghadapi problem
integrasi nasional.[3]
Kondisi
Hubungan Amerika Serikat dan Irak Sebelum Perang Teluk III Tahun 2003
Pasca berakhirnya perang dingin, AS sebagai negara super power mencoba
untuk mengincar Timur Tengah. Intervensi AS di Timur Tengah diawali dengan
keterlibatannya dalam Perang Teluk II yang sebelumnya merupakan perang antara
Irak dan Kuwait.
Dalam perkembangannya, invasi dan
aneksasi Irak atas
Kuwait berkembang menjadi konflik terbuka antara Irak dan AS.
Hal ini dikarenakan Perang Teluk II secara tidak langsung telah mengancam
kepentingan AS mengingat ladang minyak
di Kuwait yang
setiap hari mengalirkan dolar
ke negaranya telah diserobot Irak. Oleh karena itu, AS merancang
resolusi dan dengan segala kekuatan berupaya meminta Dewan
Keamanan PBB untuk mengesahkannya agar mengusir dan melumpuhkan militer Irak.
Ini semua mereka lakukan dengan alasan bahwa Irak telah melangar hukum
internasional. Alhasil, Dewan Keamanan PBB pun mengesahkan 12 resolusi
yang mengecam Irak dan semakin
memperkuat bukti bahwa PBB telah menjadi alat hegemoni AS.[4]
Ini semua sangat bertolak belakang
ketika Irak terlibat dalam Perang Teluk I, dimana saat itu Irak mendapat dukungan penuh
dari AS dan sekutunya, baik itu bantuan ekonomi maupun peralatan militer.
Meskipun diketahui bahwa itu semua hanyalah dukungan yang semu karena pada dasarnya AS hanya
merasa khawatir terhadap ancaman Revolusi Islam yang dibawa oleh rezim
Khomeini.
Awalnya tujuan AS memerangi Irak (Perang Teluk II) hanya untuk membebaskan
Kuwait. Namun, jika melihat skala penghancuran Irak, sangat meragukan apa
sebenarnya motif dari AS. Disinilah terlihat jelas bahwa tujuan utama AS adalah
minyak dan Israel. Faktor minyak memang sangat penting bagi AS, karena mereka
memiliki kebutuhan konsumsi minyak yang sangat besar. Oleh karena itu, mereka
selalu berusaha untuk menguasai negara-negara yang kaya minyak termasuk Irak.
Sedangkan faktor Israel berkaitan erat dengan kuatnya lobi Yahudi dalam politik
domestik AS. Oleh sebab itu, apapun yang diperbuat Israel tidak akan ditentang
AS. Bahkan AS akan menentang setiap usaha menghukum pelanggaran yang dilakukan
Israel terhadap norma-norma hubungan internasional.
Latar
Belakang Perang Teluk III
Rencana AS untuk
menyingkirkan Saddam Hussein yang dianggap sebagai ancaman telah muncul jauh
sebelum Perang Teluk III terjadi. Gagasan untuk menyingkirkan Saddam paling
tidak sudah mulai mengemuka tahun 1992 dan kemudian dipertegas pada tahun 1997
dengan dibentuknya Project for the New American Century (PNAC) oleh
kelompok neokonservatif atau hawkish.[5] Hawkish adalah
sebuah istilah tidak resmi yang digunakan untuk menggambarkan para pemimpin
politik yang memiliki kecenderungan militeristik atau pro-perang. Para politik
hawkish seringkali menganjurkan posisi kebijakan luar negeri agresif dan tidak
canggung menggunakan konflik militer untuk menyelesaikan perselisihan. Dan
merekalah yang sejak awal selalu memprovokasi pemerintah AS untuk menyerang
Irak dan menyingkirkan Saddam Hussein.[6]
Tragedi
11 September 2001
merupakan titik awal
kebijakan baru, baik kebijakan luar
negeri maupun pertahanan
AS. Inilah yang kemudian menjadi alasan AS untuk meyerang Irak setelah
sebelumnya menyerang Afganistan. Pemerintah Bush memvonis bahwa Irak terlibat
dalam serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 itu. Bahkan Donald
Rumsfeld menyatakan bahwa Pentagon dan CIA mempunyai bukti yang mengaitkan Irak
dengan Al Qaeda. Namun Rumsfeld menolak untuk membeberkan bukti yang menjadi
dasar pernyataannya itu. Belakangan baru terungkap bahwa bukti-bukti itu tidak
ada.[7]
Selain keterlibatan dengan teroris,
Presiden Bush melalui pidato tahunannya yang dikenal dengan pidato ”state of
the union” pada 29 Januari 2002 mengeluarkan isu bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah massal. Itu semua dilakukan Bush untuk menggiring rakyatnya
dan masyarakat dunia agar mau mendukung niatnya untuk menyerang Irak.[8]
Pada 17 September 2002, Presiden Bush mengeluarkan Strategi
Keamanan Nasional (National Security Strategy / NSS) pemerintahannya.
Konsep ini disebut NSS-2002 yang merupakan doktrin kebijakan keamanan terbaru
AS dan sering pula disebut sebagai Doktrin Bush. Dapat dikatakan bahwa doktrin
baru yang menjadi kebijakan resmi AS ini seakan-akan menyatakan
bahwa pemerintah Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan
melanggar hukum internasional.[9]
Doktrin
keamanan terbaru AS
yang dijelaskan dalam
NSS-2002 menggarisbawahi
perubahan kebijakan keamanan
AS secara menyeluruh. Akibat perubahan itu AS
telah menerapkan kebijakan strategis
global yang lebih radikal. Ada tiga hal penting untuk digarisbawahi dari“Bush
Doctrine” ini yaitu sebagai berikut:
a.
Ambisi global Amerika
Serikat untuk menjadi pemimpin dunia yang aktif dan
didengar serta dipatuhi segala kehendaknya.
b.
Amerika Serikat akan
melakukan perubahan rezim di negara-negara yang
dianggapnya tidak sehaluan atau bahkan membahayakan
kepentingannya.
c.
Amerika Serikat memaksa
untuk mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi
liberal
yang dianutnya ke seluruh penjuru dunia, kendati tidak ada satu pasal
pun dalam
Piagam PBB yang memberikan “hak” kepada Amerika Serikat
untuk melakukan hal itu.
Dan akhirnya pada 19 Maret 2003,
sebanyak 250.000 tentara Amerika Serikat didukung hampir 45.000 tentara
Inggris, 2.000 tentara Australia dan 200 tentara Polandia, menggempur dan
memasuki Irak melalui Kuwait. Penyerangan AS dan Inggris terhadap Irak ini sama sekali tidak
berdasar. Karena dari serangkaian investigasi yang telah dilakukan
oleh para agen rahasia AS menyimpulkan bahwa Irak tidak terlibat dalam serangan
11 September 2001. Kesimpulan ini kemudian dipertegas oleh laporan John
Scarlet, Ketua Komite Intelijen Bersama Inggris yang menyatakan bahwa tidak ada
bukti keterkaitan antara Baghdad dengan serangan 11 September 2001 atau
jaringan Al Qaeda. Bahkan pada tahun 2004, komisi nasional tentang serangan teroris
yang dikenal dengan komisi 9/11 menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang dapat
dipercaya bahwa Saddam memberikan bantuan pada Al Qaeda dalam menyiapkan
serangan 11 September 2001 terhadap Gedung World Trade Centre dan
Pentagon. Tuduhan terhadap Irak yang diduga terlibat Al Qaeda dilakukan tanpa
keadilan, kecuali demi ambisi politik
global Amerika Serikat yang justru mengancam keseimbangan politik dan
keamanan seluruh dunia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan para
pengambil kebijakan didalam pemerintahan Presiden Bush memutuskan untuk
menyerbu Irak. Di antara faktor faktor yang menjadi landasan utama tersebut
adalah sebagai berikut:[10]
1.
Ambisi minyak dan
menghancurkan OPEC
2.
Meneguhkan pengaruh politik
AS di Timur Tengah
3.
Menjadikan Israel sebagai
penguasa tunggal di kawasan Timur Tengah
4.
Kepentingan kekuasaan
5.
Menyebarkan ideologi, yakni
demokrasi dan liberalisme ekonomi[11]
Kronologi Perang AS-Irak
Melalui pidatonya pada 18 maret 2003,
Bush mengultimatum Saddam Hussein dan putra-putranya untuk meninggalkan Irak
dalam waktu 48 jam atau menghadapi perang. Namun, Saddam Hussain memilih untuk
tidak menghiraukannya dan menyatakan siap untuk berperang. Oleh karena itu,
pada 19 maret 2003 AS dan Inggris menyatakan perang telah dimulai.[12]
Peperangan diantara keduanya berjalan sengit, mulai dari serangan darat, udara,
hingga laut. Sementara dari udara, pesawat tempur AS dan Inggris
terus mengebom berbagai sasaran penting di Ibukota Baghdad. Sasaran utamanya
adalah istana Presiden Saddam Hussein, markas besar partai Baath dan instalasi militer
yang masih tersisa.
Di
samping melakukan serangan
militer, AS juga
merusak sistem telekomunikasi untuk
memutus rantai komando antara para petinggi Irak dan tingkatan-tingkatan dibawahnya.
Namun lain halnya dengan listrik, karena baik AS maupun Irak sangat
memerlukan radio ataupun televisi untuk memengaruhi dan menggalang opini publik.[13]
AS mengajak tentara dan rakyat Irak untuk meninggalkan Saddam dan menyerahkan diri. Sedangkan
Saddam berusaha agar tentara dan rakyat tetap setia padanya dan mau berjuang
untuknya.
Setelah
berperang dalam kurun waktu 43 hari, akhirnya pada tanggal
1 Mei 2003,
Presiden George W.
Bush, di atas
kapal USS Abraham Lincoln
menyatakan bahwa perang
telah selesai. Presiden Bush menyatakan
bahwa kemenangan berada
di pihak pasukan
gabungan pimpinan AS. Sejak saat itu pula maka dimulailah fase
stabilitas dan rekonstruksi Irak pasca perang. Oleh karenanya, AS
kemudian menunjuk Jenderal Jay Garner untuk mengendalikan
Irak sampai terbentuk
pemerintah baru. Garner
pun mengadakan pertemuan dengan sejumlah pemimpin Irak dan mulai
merencanakan pembentukan
pemerintahan federal Irak. Pertemuan itu pun akhirnya berhasil mengeluarkan
13 keputusan signifikan yang menjadi
pondasi bagi sistem
negara dan pemerintah
Irak pasca Saddam Hussein.[14]
Jika
dilihat dari segi kekuatan, peperangan antara AS dan Irak sangat
tidak berimbang. Amerika Serikat datang dengan kekuatan penuh serta didukung
oleh beberapa negara sekutunya.[15]
Sedangkan Irak yang juga mengalami kekalahan pada Perang Teluk II tidak mampu
berbuat banyak kala menghadapi pasukan AS. Ketidakberdayaan militer Irak dalam menghadapi kekuatan militer AS pada
akhirnya teruji. Pasukan
Khusus Garda Republik dan sejumlah pasukan dari organisasi
keamanan di Baghdad yang seluruhnya berjumlah 15.000 orang dengan mudah disapu oleh 100 serangan helikopter, 325
tank M1 Abram dan 200 kendaraan
tempur M-1 Bradley
dari Divisi Infanteri
Amerika Serikat yang masuk
ibukota Baghdad.[16]
Meskipun demikian, semangat rakyat Irak untuk mempertahankan negaranya
sangatlah tinggi. Itu semua mereka lakukan untuk menentang pendudukan yang dilakukan
AS dan sekutunya.
Dampak Perang Teluk III
Pernyataan kemenangan presiden Bush pada
1 maret 2003 secara simbolis melambangkan runtuhnya rezim Saddam
Hussein. Dampak politik setelah
tumbangnya rezim ini maka
secara otomatis Irak
menjadi daerah pendudukan
AS. Oleh karenanya, AS kemudian
membentuk pemerintah transisi
Irak untuk menuju pemerintah
yang permanen tanpa
campur tangan asing yang dijanjikan lebih demokratis.[17]
Sejak saat itu juga kebebasan pers sangat
dinikmati media massa. Namun dampak negatif yang timbulkan ternyata
jauh lebih besar. Berdasarkan laporan dari
media yang terbit
di negara-negara Arab
dan internasional diberitakan
bahwa setelah kejatuhan Saddam, tindak kriminal di Irak
meningkat tajam. Penjarahan, perampokan, pembunuhan hingga pemerkosaan diberitakan
terjadi dimana-mana. Penduduk merasa semakin
tidak aman dan tidak nyaman.[18] Walaupun mereka
pernah menganggap AS
sebagai ”pembebas” ketika
berhasil menumbangkan rezim Saddam
Hussein, namun perasaan
terbebas itu langsung berubah
ketika situasi di
Irak tidak menjadi lebih
baik secara ekonomi, sosial,
politik dan keamanan.
Di
bidang ekonomi Irak
mengalami kerugian besar
karena hancurnya infrastruktur akibat
perang. Mulai dari gedung-gedung pemerintah,
rumah sakit, pemukiman
penduduk, jalan-jalan, pusat
perdagangan serta
tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, perang ini juga menelan banyak korban,
baik sipil maupun kalangan
militer. Propaganda AS menyerang
Irak dengan tujuan membebaskan
rakyat Irak sama
sekali tidak terbukti.
Justru yang kebanyakan menjadi korban tindakan mereka adalah warga sipil Irak.
Bahkan pemerintahan Irak juga tidak mampu lepas dari
kendali AS. Hal ini tampak jelas ketika Irak menyelenggarakan pemilu dan
membentuk pemerintahan yang baru namun tentara pendudukan AS belum angkat kaki
dari Irak. Sehingga menyebabkan terjadinya baku tembak antara tentara
pendudukan AS dengan kelompok-kelompok bersenjata Irak.
Dari
berbagai kondisi diatas sudah jelas bahwa invasi yang dilakukan AS dan Inggris terhadap
Irak ini telah melanggar hukum internasional, karena jika merujuk pada Piagam
PBB, hanya ada dua kondisi yang dapat membenarkan penggunaan kekerasan
(perang), yakni dalam hal bela diri dan apabila terdapatnya otorisasi dari
Dewan Keamanan PBB. Namun, AS dan Inggris tidaklah dalam kondisi diserang melainkan
sebagai pihak yang menyerang, meskipun mereka menggunakan dalih pre-emptive strike untuk membenarkan tindakan
yang mereka lakukan. Dengan begitu, syarat pertama telah gagal mereka penuhi. Selain
itu, mereka juga telah bertindak terlebih dahulu tanpa menunggu hasil sidang DK
PBB yang masih memperdebatkan rencana resolusi kedua, dengan demikian AS dan Inggris
telah bertindak illegal karena tidak mendapat mandat dari DK PBB. Oleh karena itu,
tindakan invasi yang mereka lakukan terhadap Irak dianggap melanggar hukum
internasional.
Namun
PBB tidak mampu untuk memberikan resolusi sanksi kepada AS dan Inggris, karena kedua
negara tersebut memiliki hak veto yang dapat menepis keabsahan DK PBB. Oleh karena
itu mustahil untuk memberikan sanksi kepada AS maupun Inggris. Selain kelemahan
secara struktural, PBB juga terkesan inferior jika dibandingkan Amerika
Serikat. Hal ini tak lepas dari masalah dominasi AS dalam menyumbang dana untuk
PBB yakni sekitar 25% dari seluruh pendapatan PBB. Sehingga AS seakan-akan bertindak
sebagai polisi sekaligus hakim internasional yang selalu benar dan tidak ada
yang berani untuk menyalahkannya.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Kuncahyono, Trias. Dari Damaskus ke Baghdad.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Mahally, Abdul Halim. Membongkar
Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Mudarris, Alauddin Al. Huru-Hara
Irak Isyarat Akhir Zaman. Yogyakarta: Penerbit Hikmah, 2004.
Rahman, Mustafa Abdul. Geliat
Irak Menuju Era Pasca Saddam (Laporan dari lapangan). Jakarta: Penerbit
Kompas, 2003.
Setiawati, Siti Muti'ah. Irak
Dibawah Kekuasaan Amerika. Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan
Reaksi (Rakyat) Indonesia . Yogyakarta: PPMTT HI FISIPOL UGM, 2004.
Shoelhi, Mohammad. Demi Harga
Diri Mereka Melawan Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka Zaman, 2003.
Sumber Berita
Anonim. 2003. Agustus. “Kursi
Panas Untuk Bush dan Blair”. Tempo
Mustafa
Abdul Rahman. 2002. Februari 26. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
………………………..
2002. Agustus 18. “BabakBaruKonflikIrak-AS”.Kompas
SuryaningsihdanAgustRiewanto. 2003. Maret 23. “Lima Motif Invasi AS keIrak”.Kompas
[3]Siti Muti’ah Setiawati. Irak Dibawah
Kekuasaan Amerika. Dampaknya Bagi Stabilitas Politik Timur Tengah dan Reaksi
(Rakyat) Indonesia. Hal. 117
[6]Mustafa
Abdul Rahman. 2002. Agustus 18. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
[7]Anonim.
2003. Agustus. “Kursi Panas Untuk Bush dan Blair”. Tempo
[8]Mustafa
Abdul Rahman. 2002. Februari 26. “Kendala AS Gulingkan Saddam”. Kompas
[10]Ibid.
hal 341-355
[13]Ibid.
[16]Ibid.
hal. 321-322
0 comments:
Posting Komentar