Kamis, 26 Maret 2020

, , , ,

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) sebagai Usaha Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca: Studi Kasus REDD+ di Indonesia





PENDAHULUAN


Saat ini permasalahan global yang sangat banyak dihadapi ialah masalah lingkungan. Lingkungan merupakan tempat tinggal dari makhluk hidup maupun makhluk tidak hidup dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Oleh sebab itu, Lingkungan sendiri perlu adanya perlindungan dan itu bisa dilakukan dengan cara aspek hukum dan kebijakan yang dibuat oleh suatu negara.

Perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang besar. Perubahan Iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh  variabilitas alami atau hasil dari kegiatan manusia dalam melakukan berbagai aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil skala besar (batubara, minyak bumi dan gas alam), perubahan pemanfaatan lahan (pembukaan lahan untuk penebangan kayu, peternakan dan pertanian), kegiatan alih guna lahan dan kehutanan, serta konsumerisme. Saat pengambilan dan penggunaan sumberdaya ini, gas rumah kaca dilepas secara besar-besaran ke atmosfer karena proses industri. Gas-gas lain juga dilepaskan, mencemari atmosfir, seperti uap air (H2O), Methane, N2O dan O3 (ozone). Semua gas-gas ini disebut ”Gas Rumah Kaca”. Kegiatan-kegitan yang dibuat oleh manusia membuat emisi Gas Rumah Kaca yang juga berdampak pada Peubahan iklim dan Karbondioksida (CO2). Emisi-misi tersebut menyerap panas dari radiasi dari matahari ke bumi. Penyerapan ini membuat pemanasan pada lapisan atmosfer dan menyebabkan perubahan iklim. Semakin banyaknya emisi yang dihasilkan semakin berdampak pada perubahan iklim yang terjadi ke seluruh dunia.

Disinilah pentingnya peran dari REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan sebagai usaha dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dan usaha lainnya ialah perdagangan karbon yang dapat mengurangi hal yang sama seperti REDD+.
PEMBAHASAN
Perdagangan karbon meliputi aktivitas sebagai berikut: carbon seqestration, berupa pengembangan kemampuan penyerapan/penyimpanan karbon melalui penanaman hutan REDD+ awalnya diadopsi dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim tahun 2007. Didorong oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim tahun 2007, REDD+ antara lain berupa preferensi minimalisasi konversi hutan (deforestasi) dan peningkatan kualitas penanaman, pelarangan penebangan hutan liar dan prevensi kebakaran hutan (degradasi); maintaining carbon stock, berupa pelarangan penebangan hutan liar dan prevensi kebakaran baik dihutan lindung maupun hutan konservasi; dan increasing carbon stock berupa pengayaan dan penghutanan kembali.
Oleh karena itu, REDD+ memuat keterlibatan negara-negara berkembang dengan mendapatkan bayaran melalui kesepakatan antara negara melalu beberapa komitmen yang ditujukan sebagai langkah mengurangi defortasi. Dana pembayaran ini mungkin berasal dari anggaran bantuan luar negeri dari negara-negara seperti Norwegia dan Australia, investasi dari perusahaan swasta, atau kombinasi keduanya.
Hal tersebut dilakukan sesuai data dari World Resource Institute (WRI, 2000) yang dikutip dalam buku Apa itu REDD, Deforestasi menyumbang sekitar 18 % terhadap emisi gas rumah kaca (Green House Gases/GHGs) global sebesar 42 Gton CO2e per tahun. Dari 18% kontribusi emisi tersebut (~ 8 Gton CO2e per tahun), 75 % diantaranya berasal dari deforestasi di negara berkembang. IPCC (2007) mencatat kontribusi dari deforestasi sebesar 17 % terhadap total emisi GHGs global.

Data tersebut diyakini akan terus meningkat apabila tidak ada tindakan ang lebih intervensif yang memungkinkan negara berkembang meminalisir defortasi dan tidak mengganggu keberlanjutan pembangunan nasional. Hal ini diperkuat dengan data FAO yang menunjukan bahwa adana penurunan stok karbon dalam biomas hutan di negara-negara berkembang seperti di Afrika, Asia dan juga Amerika latin selama periode 1990-2010, dan sebaliknya di Eropa, Amerika Utara dan Tengah terjadi kenaikan. Namun dalam skala global stok karbon dalam biomas terjadi penurunan sebesar 1,1 Gton/tahun yang mana penyebab utamanya dari defortasi dan degradasi.

Dari aspek transaksi bisnis, perdagangan karbon melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) dan pembayaran harga berupa jasa lingkungan untuk karbon sebagai kompensasi atas upaya peningkatan cadangan karbon dan pengurangan tingkat deforestasi dan degradasi hutan.

Suatu transaksi bisnis internasional mencakup beberapa aktivitas yaitu: perdagangan barang lintas negara, perdagangan jasa lintas negara, transportasi orang lintas negara, perpindahan modal lintas negara dan mekanisme pembayaran lintas negara. Untuk dapat melaksanakannya membutuhkan landasan hukum yang memadai mulai dari tahapan persiapan awal sampai dengan tahapan pelaksanaan operasionalnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Landasan hukum ini meliputi pengaturan yang jelas tentang kapasitas dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, hubungan antarinstansi pemerintah, insentif investasi swasta, perizinan, distribusi nilai jual karbon, dan pengelolaan hutan.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan keanekaragaman hayati terbesar di planet ini dengan luas hutan tropis terbesar ketiga, telah banyak terlibat dalam REDD+. Terlepas dari komitmen pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional, laju deforestasi belum stabil atau menurun di tahun-tahun sejak diperkenalkannya REDD+ pada 2007. Pada 2012, ini bisa dibilang yang tertinggi di dunia. Meskipun ada banyak literatur tentang REDD+, kebutuhan untuk pengamatan lapangan dari lapangan dapat mengklarifikasi tantangan yang ada dan menginformasikan upaya di masa depan.

Sebagai kebijakan nasional, REDD + telah mengalami proses evolusi. Mulai dari awal 1990-an setelah KTT Rio Earth di Brasil yang memberikan deklarasi pada pembangunan berkelanjutan dan membentuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) pada tahun 1992. ada saat itu, para ahli global mencapai kesepakatan pada tingkat gas rumah kaca (GHG) di atmosfer yang telah meningkat ke tingkat di mana itu mengancam lingkungan, kesehatan, ketahanan pangan dan kegiatan ekonomi serta alam sumber daya dan infrastruktur fisik. UNFCCC mengeluarkan kerangka kerja untuk menstabilkan konsentrasi GRK untuk menghindari membahayakan kegiatan antropogenik yang di gilirannya mengancam sistem iklim. Inisiatif untuk mengembangkan obat untuk yang terancam punah sistem iklim disahkan oleh Indonesia melalui penerbitan UU No. 6 pada tahun 1994 untuk meratifikasi inisiatif UNFCCC dan mengimplementasikan kerangka kerja. Selanjutnya ditambah oleh Undang-undang no. 23 dikeluarkan pada tahun 1996 yang mengatur manajemen lingkungan di negara ini.

Lokasi geografis negara (terletak di antara dua benua Asia dan Asia) Australia) adalah di antara elemen-elemen, selain karakteristik negara itu terdiri dari ribuan pulau membentuk kepulauan. Negara ini memiliki lebih dari 225 juta orang pada tahun 2010, tersebar tidak merata di pulau-pulau dengan Jawa memiliki kepadatan tertinggi dengan lebih dari 600 orang tinggal dalam satu kilometer persegi. Penduduk berasal dari beragam kelompok etnis dan mereka berbaur dengan fasilitasi melalui berbagai kegiatan pembangunan. Adopsi sistem pemerintahan yang bersatu telah menstrukturkan pemerintah dalam sebuah tatanan hierarkis di tingkat nasional dan sub-nasional, dan sistem sedang dalam proses desentralisasi kewenangannya dari pemerintah pusat ke tingkat kabupaten. Negara mengendalikan hampir 70% area hutan, dan area lainnya berada di bawah hutan pribadi kepemilikan yang telah berkembang di pulau Jawa tetapi tidak di pulau lain.

Menurut data FAO (2005) Indonesia menyumbang pungurangan hutan dengan jumlah 22,86 % dari 8,22 juta ha pengurangan hutan atau 1,87 juta ha/tahun. Dengan jumlah ini Indonesia menempatkan peringkat kedua di dunia setelah Brasil ang menyumbang 3,10 juta ha/tahun dalam pengurangan hutan. Sebenanrnya dalam konvensi perubahan iklim (UNFCCC), negara berkembang tidak terikat dalam mengurangi emisi GHGs, namun tetap memiliki kewajiban berkontribusi terhadap upaya pencegahan dampak negatif perubahan iklim atas dasar common but differentiated responsibilities. Meskipun begitu, dampak negatid dari kerusakan huta sudah dirasakan Indonesia, baik terhadap lingkungan (musnahnya keanekaragaman hayati termasuk sumberdaya, bencana lingkungan yang bersamaan dengan kerusakan hutan), sosial (hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar akan akan dirugikan dengan rusaknya sumberdaya hutan), dan ekonomi (hutan salah satu pendapatan negara dalam pembangunan ekonomi nasional).

Oleh karena itu, Indonesia dituntut untuk dapat mengurangi kerusakan hutan yang mana dapat dilakukan dengan pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ yang merupakan mekanisme internasional ang berkaitan dengan usaha peminimalisir emisi dari defrotasi dan degradasi dinegara berkembang akan menjadi pendukung usaha Indonesia dalam mencapai tujuan reformasi yang telah/sedang dilakukan di sektor kehutanan, baik melalui aliran dana, peningkatan kapasitas maupun transfer teknologi.

REDD+ telah menjadi kebijakan nasional, itu diatur tidak hanya oleh Departemen Kehutanan tetapi juga juga telah melibatkan tingkat menteri lainnya dan bahkan mengundang perhatian Presiden. Berbagai kelompok kerja dibentuk dan peraturan dibentuk sesuai. Di tingkat nasional Pada tingkat tertentu, beberapa sektor atau kementerian terlibat dalam menangani masalah perubahan iklim. Pada 2008, melalui Instruksi Presiden nomor 46, Dewan Nasional untuk Perubahan Iklim didirikan dan dinamai DNPI. Dewan bertindak sebagai titik fokus nasional untuk global negosiasi iklim dan memiliki kelompok kerja kehutanan. Anggota dewan terdiri dari sejumlah menteri kabinet dan dipimpin oleh Presiden.  Di tingkat menteri, kelompok kerja perubahan iklim dibentuk oleh Departemen Kehutanan (SK. no.13 / Menhut-II / 2009), dan diikuti oleh pembentukan panel ahli tentang perubahan iklim (SK No. 21 / Menhut-II / 2009).
Kementerian Kehutanan mengatur mekanisme untuk mengurangi emisi yang berasal dari kehutanan kegiatan dan menerapkan Strategi Kesiapan REDD yang telah dirumuskan. Kementerian Lingkungan (KLH) memimpin Komunikasi Nasional ke UNFCCC untuk melaporkan kemajuan kebijakan nasional untuk mengurangi GRK, inventarisasi GRK, mitigasi dan adaptasi. Road Map tentang pengarusutamaan masalah perubahan iklim telah dikembangkan untuk sektor-sektor yang terlibat  dan itu telah diserahkan ke Rencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Kementerian Negara.
Lebih jauh lagi, Aksi Mitigasi Tepat Nasional (NAMA) telah dirumuskan di Indonesia Selain studi tentang Kurva Biaya Pengurangan GRK yang diterbitkan oleh DNPI. Tiga peraturan tentang REDD + dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Pertama peraturan terkait prosedur untuk menetapkan kegiatan demonstrasi tentang REDD (P68/2008). Peraturan tersebut memberikan kemungkinan bagi aktor individu (investor) dan atau kelompok aktor sebagai entitas untuk memulai kegiatan demonstrasi dengan persetujuan dari Kementerian Kehutanan. Entitas merumuskan proposal tentang kegiatan demonstrasi itu berisi informasi tentang aktivitas, lokasi, periode kolaborasi dan sumber pendanaan.

Ketersediaan dana khususnya berlaku untuk proposal individual. Proposal harus disetujui oleh kelompok kerja yang ditugaskan oleh Kementerian, dan setelah disetujui, seharusnyadilaksanakan terlebih dahulu oleh lembaga-lembaga berkembang yang melaksanakan kegiatan pembangunan (DA).
Peraturan kedua dari P 30 / Menhut-II / 2009 mengatur prosedur untuk REDD. Di dalam peraturan, pihak-pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk melakukan REDD didefinisikan dan mereka disebut sebagai pendukung REDD. Para pendukung sebenarnya pemegang hak untuk penggunaan hutan sebagai didefinisikan dalam undang-undang kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1999.

Selain masalah Kesiapan REDD, pemerintah Indonesia melakukan beberapa demontrasi kebijakan REDD+ sebagai proses pengembangan. Indonesia sedang melakukan beberapa demonstrasi REDD+ kegiatan bekerja sama dengan negara lain dan lembaga internasional, dan ini akan memberikan pelajaran penting untuk merancang kebijakan nasional REDD + kerangka.

Peerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Australia, Indonesia meluncurkan Kemitraan Karbon Hutan Kalimantan di Kalimantan Tengah. Ini dulu proyek kegiatan percontohan bermaksud mengidentifikasi penyebab deforestasi di tingkat sub-nasional, dan menetapkan REL / RL di tingkat kabupaten.

Bekerja sama dengan pemerintah Jerman, proyek kedua REDD  telah diluncurkan di provinsi Kalimantan Timur. Berbeda dengan sebelumnya proyek, proyek ini menetapkan tingkat provinsi sebagai unit kegiatan demonstrasi.

Didukung oleh organisasi internasional The Nature Conservancy, Indonesia meluncurkan Program Pengelolaan Hutan Berau. Programnya menggunakan tingkat sub-nasional dari kabupaten Berau dalam mengoordinasi antar sektor pendekatan untuk kegiatan pembangunan di tingkat kabupaten, dengan dukungan dari pemerintah nasional. Didukung oleh pemerintah Korea Selatan, Indonesia meluncurkan KOICA proyek di Nusa Tenggara Barat. Proyek ini menggunakan pendekatan CDM untuk penghijauan dan reboisasi lahan kritis dengan dukungan dari masyarakat.

Didukung oleh ITTO, sebuah proyek REDD + yang berlokasi di dalam Taman Nasional Meru Betiri telah diluncurkan di provinsi Jawa Timur. Proyek ini mengadopsi pendekatan partisipatif untuk memelihara dan memperkaya cadangan karbon dalam suatu konservasi daerah.

Bekerja sama dengan UNEP, UNDP, dan FAO, Indonesia meluncurkan apa yang disebut Proyek UNREDD. Proyek ini memfasilitasi komunikasi di antara para pemangku kepentingan terlibat dalam proyek-proyek REDD +, dan juga membangun kapasitas para pemangku kepentingan untuk siap mengimplementasikan REDD +. Ia telah memilih satu provinsi di Sulawesi Tengah sebagai lokasi kegiatan demonstrasi REDD.

Bank Dunia mendukung proses kesiapan di Indonesia melalui Program yang disebut Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF). Program termasuk karya analitis pada pendorong deforestasi, itu meningkatkan komunikasi dan penjangkauan, dan mencari peluang hukum untuk mengatur pembayaran REDD + dan distribusi manfaatnya. Perhatian khusus diberikan untuk peran masyarakat adat (IP) dan bagaimana minat mereka nantinya terlindungi dalam mekanisme REDD. Lokasi provinsi yang diusulkan menjadi kegiatan demonstrasi REDD akan mencakup Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Maluku Utara, dan Papua.

Seperti halnya perjanjian bilateral REDD+ Indonesia dan Norwegia pada tahun 2010. Dengan perjanjian ini, Indonesia diharuskan untuk meminalisir emisi karbon dengan pengadaan lembaga pamantauan dan pemantauan dan pematasan penggunaan lahan, serta penegakan ketat dari UU mengenai Kehutanan. Dengan Imbalan, pemerintah Norwegia akan membayar pemerintah Indonesia hingga $1 miliar, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi bertemu.

Perjanjian REDD + juga meningkatkan transparansi dan menciptakan alat-alat penting untuk pemantauan dan kolaborasi. Salah satu alat ini adalah inisiatif “One Map”, yang mengkonsolidasikan data tentang izin lahan dari berbagai sektor untuk menghasilkan peta hutan dan lahan gambut publik yang lengkap dan publik pertama di IndonesiaDalam proses ini, sebuah pesan penting dari perubahan tersebut dikirimkan kepada entitas yang secara tradisional menguasai sektor kehutanan Indonesia. Ini termasuk Departemen Kehutanan, yang terkenal karena korupsi dan menutup mata untuk praktik bisnis eksploitatif, dan eksekutif perusahaan komoditas, yang telah lama mampu menyembunyikan kegiatan dipertanyakan di balik tabir kerahasiaan. Dengan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Satuan Tugas REDD + telah berhasil membawa semakin banyak orang yang bersalah atas kejahatan kehutanan ke pengadilan.

Akhirnya, perjanjian REDD+ mewakili keberangkatan radikal dari model bantuan tradisional, karena memungkinkan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan banyak otonomi sehubungan dengan bagaimana reformasi diarahkan dan diimplementasikan. Hal ini tidak hanya meningkatkan persepsi perjanjian oleh pejabat Indonesia, tetapi juga meningkatkan kerja sama dan mengurangi perselisihan dengan menghilangkan dinamika kekuatan yang terkait dengan hubungan donor-penerima. Pendekatan seperti membuka pintu untuk organik, perubahan mandiri, daripada reformasi jangka pendek yang dikenakan oleh donor eksternal.

Daftar Pustaka

Adolf, Huala. 2003. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Cetakan Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
FAO. Global Forest Resources Assessment 2010. Diakses melalui  http://www.fao.org/forestry/fra/62219/en/zaf/ pada tanggal 05 Januari 2019
Kementerian Kehutanan. 2008. Laporan Konsolidasi Mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. Komunikasi Nasional Kedua Indonesia di bawah UNFCCC.
Masripatin, Nur. 2006. Kebijakan Peluang Pendanaan dan Pasar Karbon Hutan Indonesia, Makalah Kelompok Kerja Perubahan Iklim Departemen Kehutanan Republik Indonesi. Jakarta: Departemen Kehutanan RI
Masripatin, Nur. 2008. "Apa itu REDD: Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries". Warta Tenur Nomor.
Putra, Ida Bagus Wyasa. 2003. Hukum Lingkungan Internasional – perspektif bisnis internasional. Bandung : Refika Aditama. Hlm. 1.
Rumah Iklim.org. Apa itu perubahan iklim? Diakses melalui http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/apa-itu-perubahan-iklim/ pada tanggal 05 Januari 2019
Rumah Iklim.org. Perubahan Iklim. Diakeses melalui  http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/apa-itu-perubahan-iklim/mengapa-perubahan-iklim-terjadi/ pada tanggal 05 Januari 2019

0 comments:

Posting Komentar