Selasa, 09 Desember 2025

,

HIMALAYA: Wilayah Tersembunyi di Asia di Mana “Tamu Adalah Dewa”

Alamy Lumbini, where the Buddha was born, is a major pilgrimage site (Credit: Alamy) 

Himalaya dan Kathmandu mungkin menjadi magnet wisatawan, tetapi dataran rendah Terai di Nepal menyimpan pesona lain: taman nasional penuh satwa liar, hamparan ladang, dan jaringan homestay inovatif yang menawarkan pengalaman budaya otentik.

“Sebentar lagi kita akan memanggang tikusnya,” ujar Shyam Chaudhary. “Tapi pertama-tama, mari saya ajari membuat acar buah pedas.” Mengenakan sari merah terang yang dihiasi pompom warna-warni, Chaudhary mengajak saya masuk ke dapurnya. Kami memotong bawang, cabai, serta belimbing wuluh, sebelum menumisnya dalam wajan panas bersama gula, ketumbar, dan jintan selama 20 menit.

Simon Urwin Starfruit is the main ingredient in several Terai specialties (Credit: Simon Urwin)Saya menginap di rumah keluarga Chaudhary di desa Bhada, wilayah terpencil di Terai selatan dekat perbatasan India—tanah leluhur suku Tharu. Akomodasi saya diatur melalui Community Homestay Network, sebuah inisiatif nasional yang membantu wisatawan merasakan sisi Nepal yang lebih autentik sekaligus mengalirkan pendapatan langsung ke keluarga setempat.

Setelah beberapa jam memasak di dapur tanah liat sederhana—dibangun dari kayu, lumpur, jerami padi, dan rambut kambing—suara madal, genderang kulit kerbau, mulai terdengar dari ladang. Itu menjadi tanda bagi kami untuk membawa hidangan ke luar rumah. Para petani sedang mendirikan tiang bambu tinggi berhiaskan bunga marigold—versi orang Tharu dari orang-orangan sawah.

Kerumunan pun mulai berdatangan, dan suasana pesta meriah segera tercipta. Perayaan seharian ini disebut Auli, menandai berakhirnya musim panen padi sebagai rasa syukur kepada Ibu Pertiwi. Memakan tikus sawah yang dipanggang, sebagai persembahan simbolis kepada para dewa agar melindungi tanaman tahun berikutnya, menjadi bagian penting dari ritual.

Saya ditarik ke tengah kerumunan untuk menari dan menyanyi. Gelas minum saya—dibuat dari daun yang dijahit dengan serpihan bambu—tak henti-hentinya diisi ulang dengan chhyang, minuman tradisional yang difermentasi. Ada yang dibuat dari beras, ada pula yang lebih manis dan sedikit beraroma jamur, terbuat dari bunga kering pohon butter.

Berpartisipasi dalam upacara sakral ini merupakan kehormatan besar. Saya disambut hangat oleh Guruwa, pendeta animisme yang menjadi penghubung antara desa dan dunia roh, serta keluarga-keluarga dari 10 homestay lainnya di Bhada—semuanya dijalankan oleh perempuan setempat.

Saat menyantap nasi ketan dan tikus panggang—dengan rasa yang cukup kuat namun ditutupi oleh bumbu bawang putih dan cabai—para perempuan menceritakan bagaimana homestay mereka membuat Bhada mulai dikenal, menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.

“Orang bisa melihat cara hidup tradisional kami,” ujar Hariram Chaudhary, salah satu pemilik homestay. “Dan kami bisa menyambut tamu yang sebelumnya tak pernah kami temui, menunjukkan keramahtamahan Tharu. Kami punya pepatah: Atithi devo bhava—tamu adalah dewa. Begitulah kami memperlakukan mereka.”

Hariram menambahkan bahwa kesempatan kerja bagi perempuan di pedesaan Nepal sangat terbatas, namun kini mereka memiliki rekening bank sendiri dan penghasilan dari homestay memberi mereka kemandirian finansial yang baru. “Menjalankan usaha benar-benar mengubah hidup kami,” katanya. “Sekarang kami punya pendapatan dan, untuk pertama kalinya, punya suara dalam komunitas.”

Budaya Tharu yang telah bertahan selama berabad-abad menjadi daya tarik utama Terai; daya tarik lainnya adalah kekayaan satwa liar. Wilayah ini memiliki jalur sempit hutan subtropis, lahan basah, dan padang rumput yang dilindungi di dalam taman nasional. Shukla Phanta terkenal dengan kawanan rusa tutul dan populasi barasingha terbesar di dunia. Bardiya masyhur dengan harimau Benggala, sementara Chitwan dihuni harimau, gajah Asia liar, dan badak bercula satu.

Getty Images Chitwan National Park is a Unesco World Heritage Site (Credit: Getty Images)Taman Nasional Chitwan, Situs Warisan Dunia UNESCO, menarik ratusan ribu wisatawan setiap tahun. Sebagian besar tinggal di kota turis Sauraha. Namun, hutan-hutan komunitas di sekitar taman—yang sama kayanya dengan flora dan fauna—hanya dikunjungi sedikit orang. Untuk menghindari keramaian, saya pergi ke desa Barauli, gerbang menuju empat hutan komunitas: Shanti Kunj, Namuna, Krishna Sar, dan Gundrahi Daha.

Barauli memiliki 12 homestay yang dikelola dalam sistem rotasi agar pendapatan merata. Saya menginap di rumah Janaki Mahato, yang menyambut saya dengan pakaian tradisional Tharu dan kalung marigold.

Mahato menunjukkan kamar sederhana namun nyaman, lengkap dengan kamar mandi ala Barat dan AC. Ia menjelaskan bahwa 80% biaya menginap masuk ke keluarga tuan rumah, sementara sisanya menjadi dana komunitas—digunakan, misalnya, untuk menggaji guru bahasa Inggris di sekolah lokal. Warga desa juga mendapat penghasilan dari memasok bahan makanan dan menawarkan aktivitas seperti kelas henna atau tur bersepeda.

Keesokan paginya, setelah sarapan omelet pedas dan dhikri (kue tepung beras kukus), saya mengikuti safari 4x4 bersama Sumit Chaudhary, petani yang kini menjadi pemandu alam. Hanya dua kendaraan yang masuk hutan komunitas hari itu. Sumit menjelaskan bahwa satwa liar sering berpindah dari taman nasional ke hutan-hutan ini, meskipun dipisahkan oleh Sungai Narayani.

Dalam hitungan menit, kami melihat kawanan kera dan lutung bergelantungan dari pohon ke pohon. Peringatan rusa tutul menandakan kehadiran harimau Benggala—salah satu bintang utama Terai. Kami juga menjumpai babi hutan, barasingha, ayam hutan, merak, rangkong, dan bangau.

Sorotan utama safari adalah tujuh penampakan badak bercula satu—termasuk induk dan anak yang sedang makan rumput air, serta pejantan muda yang mendekati kendaraan kami hingga tarikan napasnya terdengar jelas.

Saat matahari terbenam, kami kembali ke Barauli melewati pemukiman tradisional Tharu: warga menampi beras, memerah susu kerbau, membersihkan lobak putih untuk pasar, dan bermain carrom.

“Pariwisata berbasis komunitas membawa dampak positif,” kata Sumit sambil melambaikan tangan ke penduduk desa. “Dulu satwa liar dianggap perusak tanaman, tapi sekarang mereka dipandang sebagai aset yang harus dilindungi.”

“Beginilah seharusnya pariwisata,” tambahnya. “Saat manusia baik pada alam, alam akan berkembang. Wisatawan pun datang. Dan selama mereka berkunjung dengan hormat pada masyarakat dan lingkungan, semua pihak akan menerima manfaatnya.”

0 comments:

Posting Komentar